Sekitar jam tiga sore saya menyudahi perjalanan menggunakan MRT/LRT Manila. Sudah cukup rasanya skimming Metro Manila seharian tadi. Walaupun saya tidak merasa puas dan mendapatkan pemandangan sesuai ekspektasi saya. Satu hal yang menggambarkan perjalanan MRT/LRT saya tersebut adalah mirip seperti jalan-jalan dengan komuter di Jakarta. Tinggal mengganti masjid-masjid di Jakarta dengan gereja-gereja katolik di Manila. Namun saya tidak mengenal, karena perjalanan tersebut membuat saya lebih mengenal penduduk dan kebiasaan orang Filipino, menarik ketika kita bisa mengamati kelakuan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, walaupun secara muka sih mirip mirip juga dengan orang Indonesia.
Sebenarnya perjalanan Intramuros saya belum kelar, maka saya kembali kesana dengan tempat nongkrong yang sama, Mini Stop Convenience Store. Sambil mengisi baterai music player. Saya menikmati es krim seharga 15 peso dengan porsi yang meluap, super banyak. Selain itu, saya juga menunggu teman saya, Choi, selesai kerja, ya skitar jam empat sore. Akibat sepatu saya yang rusak, jadinya telapak kaki saya sampai melepuh gara-gara keliling kota Manila seharian.
Sekitar satu jam saya mangkal di Mini Stop, namun tidak ada kabar juga dari teman saya, Choi. Akhirnya saya ngelantur sendiri mencari Manila Cathedral dan Fort Santiago. Untung lah.. ternyata lokasinya berdekatan dengan Mini Stop tersebut. tidak sampai 100 meter saya sudah bisa menikmati keindahan arsitektur klasik a la Spanyol di Manila Cathedral. Cuaca sore yang teduh pun membuat jalan jalan sore itu menjadi sangat seru, ditambah kondisi jalanan yang tidak terlalu ramai oleh jeepneys. Sialnya, karena jalan sendirian, jadi saya tidak bisa foto foto narsis di depan Manila Cathedral deh.
Manila Cathedral |
Kereta Kuda di depan Fort Santiago |
Ketika keluar dari Manila Cathedral, saya langsung melihat sign board menuju Fort Santiago. Langsung tancap! Perjalanan menuju Fort Santiago ditemani oleh gedung-gedung tua yang terlihat masih kokoh. Walaupun terlihat baru dicat, namun tidak mengurangi kesan klasik bangunan tersebut. Ditambah lagi adanya kereta kuda. Jangan salah! tidak seperti andong di pulau jawa, namun kereta kudanya memang sengaja ditata bak kereta kerajaan. Ya ga selebay kereta kerajaan juga sih, namun lebih klasik, sesuai dengan latar belakang nya dengan gedung-gedung tua bergaya Eropa.
Memasuki komplek Fort Santiago dikenakan biaya masuk sebesar 75 Peso. Cukup mahal sih untuk ukuran situs sejarah. hehe ketauan kurang menghargai situs sejarah, tapi kan museum di Indonesia kebanyakan seribu sampai lima ribu rupiah saja. Berhubung saya mau jadi turis kali itu, jadi dibela-belain masuk. Lagipula setiap searching mengenai berwisata di Manila selalu keluar gambar Fort Santiago, jadi it’s kind of must seen place when you travel to Manila. hihi sayangnya, saya baru inget, saya jalan-jalan sendirian jadi ga ada bukti deh udah pernah kesitu dengan foto bareng benteng paling terkenal se-Manila itu.
well-known Fort Santiago |
Ternyata, di halaman belakang Fort Santiago terdapat benteng yang langsung berhadapan dengan Pasig River, dan tentunya ada pemandangan Kota Tua Manila di sebrangnya. Rasanya matahari sore dan lagu-lagu di music player saya bersekongkol untuk membuat saya berlama-lama sambil memandang sunset di Pasig River. Sambil menikmati reruntuhan benteng-benteng bekas jajahan Spanyol dan menikmati hembusan angin sore Manila yang semriwing. Hmm…. Today’s mission was complete!
Manila Cathedral Gallery |