Lompat ke konten

Penang Won’t Let Me Go

Penang International Airport

Penang. 8 September 2012. Ini adalah hari terakhir saya di Penang. Rasanya makin males pulang. Bahkan saya belum packing. Yah lagian sudah terlatih, packing 3 menit!
Hari itu saya memutuskan untuk tidak kemana-mana dan tinggal di rumahnya Yusuf. Kebetulan hari itu hari sabtu, jadi anak-anaknya sedang libur. Saya menghabiskan waktu saya bermain dengan anaknya. Dia mengajak saya bermain sebuah permainan yang memusingkan, sebuah permainan mirip monopoli dicampur catur, nah bisa bayangin ga tuh? Permainan pun memakan waktu hampir 3 jam.

Sorenya saya mengobrol dengan Erika (istrinya Yusuf) dan Mazlee. Kami banyak membicarakan hal, terutama tentang hidup di Malaysia dan Indonesia. Mazlee yang orang asli Malaysia sebelumnya terheran-heran dengan saya yang belum pulang dari lebaran kemarin dan hanya membawa sebuah backpack selayaknya pergi sekolah. Kemudian saya bilang kalau dia harus mencoba juga traveling, sesungguhnya dia sangatlah beruntung tinggal di Malaysia, di mana negaranya menyatu dengan daratan benua Asia, di mana akses transportasi sangat mudah dan murah.

Kemudian Erika menambahkan, kalau sebenarnya sudah banyak orang Indonesia seperti saya yang bepergian juga, karena dia dan Yusuf sudah beberapa kali meng-host orang-orang Indonesia yang sering bepergian. Di Eropa apalagi, kegiatan ini sudah menjadi budaya. Di mana ketika seorang anak lulus sekolah maka banyak dari orang tua nya yang memberikan modal untuk jalan-jalan keliling dunia.

Teluk Kumbar after the rain

Setelah membahas traveling, Erika kemudian membuka topik baru. “you are so typical of any other Asian” terang dia kepada Mazlee dan saya. Kenapa bilang gitu? karena Erika memperhatikan kalau saya dan Mazlee terlalu sering melihat gadget. Ini pun bukan pertama kalinya saya dibilang seperti itu. Sewaktu teman saya dari Belanda berkunjung dan bertemu dengan saya pun dia bilang hal seperti itu. Fenomena banget sih memang gadget di Asia, terutama bagi anak mudanya. Hal ini sih memang bisa digeneralisasikan.

Dibandingkan dengan anak muda di Eropa, Erika menjelaskan kalau anak muda di sana lebih sering untuk membaca buku dan bergaul secara langsung dengan anak muda lainnya. Hmm ya ya.. Pantesan kalau ngobrol dengan backpacker dari negara-negara Eropa atau barat lainnya terasa sangat jurang pemisahnya. Terlepas dari warna kulit dan bahasa, ada suatu ‘culture barrier’ di dalamnya.
Saking asiknya mengobrol, gak kerasa langit sudah mulai gelap. Erika mengingatkan saya mengenai penerbangan saya. Sementara itu, saya masih ingin menunggu Yusuf pulang ke rumah dan kemudian berpamitan. Gak asik kan kalau gak pamitan dengan orang yang sudah menebengi kita?

Penerbangan saya dari Penang menuju Bandung berangkat sekitar jam 20.05. Waktu tempuh dari tempatnya Yusuf ke bandara itu hanya skeitar 15 menit (kalau diantar). Hingga sekitar jam 18.30, saya mulai panik. Yusuf belum juga balik. Saya sabar menunggu tapi perut terus mulas kalau mikirin flight. Akhirnya saya mengirimkan SMS ke Yusuf memberitahu bahwa saya berpamitan untuk pergi ke bandara sendiri. Hingga kemudian dia menelpon;
“Halo Febry, what time is your flight?”
“8 o’clock”
“if you don’t go to airport now, you’ll be late. kamu akan terlambat.”
DEG DEG! saya semakin mules dan deg-degan.
“apakah kamu bisa naik mobil? atau motor?”
“saya bisa naik motor!”
“cuba kamu minta kunci motor ke bini saya, nanti kamu langsung naik motor ke bandara dan bertemu saya di sana. kita bertemu di tempat kemarin menjemput Yongki”
“oke”

Saya langsung ngibrit dan memberitahukan Erika untuk meminjam motornya Yusuf. Kemudian dengan cepat dia memberikannya dan mengantarkan saya ke bawah menuju motor. Untungnya packing tidak butuh waktu yang lama. Di sana saya mencoba untuk tenang walau jantung berdetak dan meronta ingin keluar.

Masa saya harus ketinggalan pesawat, LAGI, di Malaysia, LAGI?

Erika dan Mazlee mengantar saya ke parkiran motor. Kemudian saya mencoba untuk menurunkan standarnya namun tak juga bisa turun. Luar biasa desperate motor ini untuk bisa digerakkan. Saya terus memaksa maju mundur agar standarnya bisa lepas dan naik. Proses ini memakan waktu lebih dari 5 menit.

Akhirnya, standar lepas dan tiba lah saya ke permasalahan ke dua. Motor susah dinyalakan. Dalam hati; “jangan panik Feb, jangan panik.” Tak sampai 10 menit motor nyala. Tau deh itu sudah jam brapa. Jam 7 mungkin.
Ketika mau jalan dan sudah dadah-dadah. Saya baru engeh, saya belum pakai helm. Akhirnya Mazlee dengan terburu-buru berlari naik ke lantai 6 untuk mengambilkan helm. Luar biasa saudara-saudara, keringet dingin semakin lancar ngucur.

Hingga akhirnya Mazlee kembali, saya kemudian berangkat dan melaju dengan motornya Yusuf.

“thank you all…. wish me luck!” teriak saya.
Motor terus berpacu di jalan raya. Saya panik lagi ketika melihat jalanan mulai padat dan macet. Oh God!!! tentu dengan kemampuan berkendara di Jakarta, saya dapat menerobos kemacetan dengan mudah.Sungguh sore itu menjadi sore yang dramatis. Langit terus mengucurkan rintik hujannya. Sementara saya terus melaju kencang mencari setiap petunjuk jalan menuju bandara.

Jalanan menuju bandara dari Teluk Kumbar terdapat beberapa lampu merah dan persimpangan. Nah persimpangan ini yang memusingkan, karena antara kamu salah arah atau kamu mengikuti jalur jalan layang. Berpikir efektif, saya rasa menaiki jalan layang akan membantu saya menghemat waktu dibanding lewat bawah yang banyak traffic light nya.

Motor terus melaju kencang, 60kmph lewat, 80kmph lewat, hingga mencapai 100kmph. Woooozzzz.. Di atas jalan layang, tak terlihat penunjuk jalan untuk turun ke bawah menuju bandara. Saya pun terus ikut lurus. Hingga kemudian saya mau pingsan ketika melihat terminal bus sungai nibong ada di bawah saya. Lah.. ini kan udah menuju Georgetown? Bandara udah KELEWAT jauuuuh banget!

Saya makin hopeless. Saya lemas namun terus melajukan kendaraan. Di benak saya terngiang perkataan saya tadi siang ke Erika “I won’t go home” dengan baik hatinya Erika menjawab “sure, you can stay”. Apakah itu sebuah pertanda? apakah ini sebuah jawaban atas kegalauan saya yang enggan pulang dan meneruskan perjalanan ini? balik ke Bangkok dan mencari kerja di sana mungkin? sisa gaji saya masih ada kok untuk bertahan hidup.
Ketika asik ngelamun dan membayangkan skenario apa yang akan terjadi selanjutnya, saya dikagetkan antrian kendaraan di traffic light di depan saya. Entah saya harus gimana. Tapi saya mencoba nekat dan menerobos traffic light tersebut. Gila! ini pertama kalinya saya ke bandara naik motor, dan ini pertama kalinya saya menerobos traffic light di negara orang!

Saya memutar di traffic light tersebut dan kemudian memacu motor itu dengan sangat kencang. Traffic light selanjutnya juga terus diterobos. Saya menghindari naik jalan layang. Kecepatan terus statis di 80-100kmph.
Tak sampai 10 menit, saya melihat tulisan menuju bandara. hahh.. finally!

Saya memasuki kawasan bandara dengan perasaan cemas campur senang. Di depan pintu masuk sudah ada Yusuf dan Yongki yang teriak-teriak, loncat-loncat, dan melambaikan tangan. Seolah sedang menantikan sebuah kemenangan di perlombaan motoGP.

Saya bertemu mereka dengan tanpa percakapan dan basa-basi. Saya langsung memasang standar di motor dan memberikan helm kepada Yusuf. Kemudian dia menyuruh saya untuk berlari menuju check in counter. Saya berlari sambil terengah-engah; “I am sorry.. thanks a lot for your help friend!” ucap saya. “Good luck, tell me if you lost your flight! I’ll be waiting here” teriak Yusuf.

Duh, gak ada waktu juga untuk sedih, cipika-cipiki, pamitan dengan Yusuf dan Yongki. Saya terus lari dan panik menuju check in counter. Untung antreannya dikit. dan Akhirnya.. akhirnya saya dapat juga boarding pass.
Saya melihat jam, sudah menuju ke jam 19.35. Setengah jam lagi loh peawat berangkat! saya jadi lari ke imigrasi. Namun ketika sampai imigrasi, saya malah di bilang “relax je, flight masih setengah jam lagi”. Mendengar responnya saya jadi kesel sendiri. Sudah sebegininya, tapi ternyata orang-orang di sini juga santai. hmmff mungkin juga sih karena bandara Penang ini tidak terlalu besar, jadi alur kerjanya bisa lebih santai. Huff.. syukur lah.
Ketika sudah di boarding gate, saya baru mengabarkan Yusuf. Untung lah dia sudah di perjalanan pulang.

11 tanggapan pada “Penang Won’t Let Me Go”

  1. Fahmi Anhar – Mantan penyiar yang pindah haluan menjadi pekerja sosial di bidang Corporate Social Responsibility. Travel blogger dan hotel reviewer. Akrab juga dipanggil Fahmi Hiu karena tergabung dalam team #SaveSharks Indonesia. Kerjasama/Partnership email ke: fahmianhar21@gmail.com

    ini kalo di twit pake hestek #DRAMA :p

  2. Timothy W Pawiro – I like to watch movies ... I like to listen to music and attend concerts ... I like to hang out with my friends ... I like to eat ... and I like nasi goreng kambing (lamb fried rice)!! Haha :D

    Lol! Pasti heboh banget waktu itu! :o))))

      1. Timothy W Pawiro – I like to watch movies ... I like to listen to music and attend concerts ... I like to hang out with my friends ... I like to eat ... and I like nasi goreng kambing (lamb fried rice)!! Haha :D
  3. omnduut – Palembang – Bankir sesat. Pecinta buku & film yang bermimpi bisa jadi pengusaha serta bisa keliling dunia ini mengidap mamamholic sejak kecil. Sekarang tengah berjuang mewujudkan sebuah mimpi : menjadi penulis.

    Sebelumnya pernah ketinggalan pesawat di mana? Mau bilang keren tapi kok itu melanggar lalu lintas, haha, tapi emang keren kok, bisa mengendarai motor tanpa SIM Internasional, ngebut, nerabas lampu merah buahaha 🙂 Ini emang traveler sejati ^^

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.